Kamus NU
1- PBNU
( Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat pusat, berkantor di Ibu kota
Negara.
2. PWNU
( Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat provinsi berkantor di Ibu
kota Provinsi.
3. PCNU (
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Kabupaten / Kota, berkantor di
daerah Kabupaten atau Kota Madya (Kodya).
4. PCINU (
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ) untuk luar negeri, berkantor di Ibu
kota Negara dimana di negara itu sudah dibentuk kepengurusan NU.
5. MWCNU (
Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat kecamatan.
6. PRNU (
Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Desa.
7. PARNU (
Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama ) untuk tingkat Dukuhan / Lingkungan.
8. A’wan:
Bagian dari syuriah yang bertugas membantu tugas rais, yang terdiri atas
sejumlah ulama terpandang. A’wan adalah bentuk jamak dari ‘awn yang secara
bahasa berarti bantuan.
9. Hadhratusy
Syaikh: Sebutan kepada seorang ulama sebagai pengakuan atas keluasan ilmunya,
kemuliaan akhlaqnya, dan keistiqamahannya dalam berdakwah. Istilah Hadhratusy
Syaikh di NU merujuk kepada K.H Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
10. Jam’iyyah:
Perkumpulan yang memiliki ikatan dan aturan baku (organisasi). Berbeda dari
jama’ah yang merupakan perkumpulan yang bersifat lepas dan cair. Keduanya
berakar dari kata jama’a (berkumpul). Selain Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah
induk, ada beberapa badan otonom NU yang juga memakai nama jam’iyyah, seperti
11. Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyyah ( JATMAN) yang menaungi para
pengikut thariqat yang mu’tabar; dan
12. Jam’iyyatul
Qurra’ wal Huffazh (JQH) yang mengurus pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
pengembangan tradisi penghafalan dan seni membaca Al-Qur’an.
13. Katib:
Penulis atau juru catat, berasal dari kata ‘kataba’ (menulis). Dalam NU,
istilah katib hanya diperuntukkan bagi sekretaris syuriah.
Sementara itu,
dalam tanfidziah digunakan istilah sekretaris.
14. Khittah:
Visi dasar organisasi NU yang dirumuskan pada awal pendiriannya pada tahun
1926, yakni sebagai organisasi sosial keagamaan yang berjuang di ranah dakwah,
sosial, dan pendidikan.
Kata khiththah
berasal dari kata ‘khaththa (menggaris).
15. Lajnah:
Panitia, komisi, lembaga, atau komite yang secara struktural bertanggung jawab
kepada NU.
Berasal dari
kata ‘lajanah’ yang berarti mengaduk, merekatkan. Ada beberapa lajnah dalam NU,
yaitu:
16. Lajnah
Falakiyyah, bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan bidang ilmu falak
(astronomi);
17. Lajnah Bahtsul
Masa’il (LBM), bertugas membahas, mengkaji, dan memutuskan berbagai masalah
keagamaan, dengan bersandar pada pandangan ulama dan kitab yang mu’tabar;
18. Lajnah
At-Ta’lif wan Nasyr, menangani penerbitan karya dan fatwa ulama NU, kegiatan
muktamar, dan lain-lain; dan
19. Lajnah
Awqaf, yang menangani harta wakaf baik dari anggota maupun simpatisan NU.
Selain lajnah,
ada juga lembaga, seperti Lakpesdam, LP Ma’arif dan Lesbumi, dan badan otonom,
seperti
Anshor,
Fatayat, Muslimat, IPNU, dan IPPNU, PAGAR NUSA, yang secara struktural lebih
mandiri.
20.
(Al-)Muhafazhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah: Prinsip
dasar ulama NU yang bermakna,
“Berpegang
teguh pada pendapat terdahulu yang baik, seraya mengambil pendapat yang baru
yang jauh lebih baik”.
Dengan dasar
kaidah itu, NU mempertahankan tradisi salafiyyahnya, namun tidak alergi
terhadap pendapat dan interpretasi keagamaan modern yang tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama salaf.
21. Mustasyar:
Dewan penasihat syuriah yang terdiri atas ulama sepuh NU, seperti K.H M. Zen
Syukri, K.H Idris Marzuki Lirboyo, dan Tuan Guru Badruddin Turmudzi. Mustasyar
berasal dari kata ‘istasyara’ yang berarti meminta petunjuk.
22. Qanun
Asasi: Garis-garis dasar ideologi NU yang disusun oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim
Asy’ ari. Intinya, jam’iyyah NU berpegang kepada madzhab Asy’ariyah (pengikut
Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari) dan Maturidiyyah (pengikut Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi) dalam beraqidah; pendapat ulama
madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam berfiqih; dan pendapat Imam
Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali dalam bertasawuf.
23. Rabithah
Al-Ma’ahid Al-Islamiyyah (RMI):
Perkumpulan
pesantren NU adalah salah satu badan pelaksana kebijakan NU dalam bidang
kepesantrenan.
Rabithah
berasal dari kata ‘rabatha’ yang berarti mengikat, sedangkan Ma’ahid adalah
jamak dari kata ‘ma’had’ yang bermakna pondok pesantren.
24. Rais Akbar:
Secara bahasa bermakna pemimpin besar, jabatan tertinggi dalam struktur
kepengurusan Syuriyyah NU saat pertama kali didirikan.
Jabatan ini
hanya pernah diduduki oleh Hadhratusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.
Sepeninggal Mbah Hasyim, istilah rais akbar diganti dengan rais ‘am yang
berarti ketua umum.
25. Syuriah:
Berasal dari kata ‘syawara’ yang berarti bermusyawarah. Syuriah ialah badan
musyawarah pengambil keputusan tertinggi dalam NU, semacam dewan legislatif
dalam negara. Syuriah dipimpin oleh seorang rais ‘am.
26. Tanfidziah:
Berasal dari kata ‘naffadza’ yang berarti melaksanakan. Tanfidziah ialah badan
pelaksana harian syuriah. Pemimpin tertinggi Tanfidziyyah tidak menggunakan
istilah rais ‘am, melainkan ketua umum.
Tidak ada komentar:
Write komentar